Ditulis oleh: Habib Munzir al Musawa
Minggu, 14 Juni 2009
Siang hari, Sabtu 13 Juni 2009, detik-detik pamitanku pada
Guru. Aku bersimpuh di hadapan guru, samudera ilmu nan luas, guru
yang sangat lembut dan berwibawa, seakan-akan langit dan bumi sirna
ketika aku memandang kelembutan dan kedamaian di wajahnya.
Berkata Anas bin Malik ra, “Belum pernah kami melihat pemandangan
yg lebih menakjubkan dari wajah sang Nabi saw.“(Shahih Bukhari)
Itu adalah di masa Anas bin Malik ra, namun di masaku aku
menemukan cahaya keindahan itu, sebagaimana sabda Nabiku saw,
"Maukah kalian kuberitahu siapakah yang mulia diantara kalian?
Mereka adalah yang jika dipandang wajahnya membuatmu ingat pada
Allah." (HR Bukhari pada Adabul Mufrad).
Kota Tarim, Hadramaut, Yaman adalah kota kedamaian, cuaca
panas terik yg bisa mencapai 45 derajat celcius. Namun terik matahari
itu sirna dan sejuk dengan keberadaan para ulama shalihin berwajah
sejuk dan damai. Mereka lepas dari segala racun keduniawian, mereka
lepas dari segala ketamakan, mereka lepas dari sifat iri dengki,
sombong dan segala penyakit hati yg hina, mereka selalu membawa
kedamaian dimanapun mereka berada, air mata yang selalu mengalir
dalam doa dan munajat, telapak tangan yang selalu terangkat
kehadirat Yang Maha Suci dan Maha Abadi, membuat tangan-tangan
mereka berhak diperebutkan dan diciumi untuk mendapatkan
keberkahan ilahiah dari munajat dan doa mereka, selalu berlemah
lembut bahkan pada para pendosa dan hamba yang berlumur
kesalahan.
Aku bersimpuh di hadapan guru. Wajahku menunduk dan
sangat dekat diahadapannya, air mataku terus mengalir tak kunjung
henti jika memandang wajah Guru.
Air mata cinta… Air mata haru pada kelembutannya…
Air mata semangat bakti padanya dengan jiwa dan raga...
Air mata rindu dan selalu ingin bersamanya…
Air mata penyesalan atas perbuatan yang mengecewakannya.
Kuangkat kepalaku lagi menikmati wajah terindah dalam
hidupku... Wajah yang membuatku ingat pada Allah...
Wajah yang selalu memancarkan cahaya khusyu dan damai…
Wajah yang selalu berusaha menyantuni semua hamba ilahi….
Sang Guru tersenyum lembut, membuatku menunduk dan
semakin deras air mataku mengalir haru dan asyik dalam cinta dan
bakti padanya.
Seraya berkata lembut, “Bagaimana keadaan jamaah di
Indonesia?”
Aku terdiam dan tak mampu menjawab.
Seraya berkata lembut, “Semoga mereka dalam kebaikan dan
kedamaian. Semoga semakin banyak yg bertobat dan kembali kepada
keluhuran.
Aku menjawab, “Amiin.”
Hanya itu yang bisa keluar dari bibirku.
Sang Guru berkata lagi, “Kabarkan padaku!”
Aku menangis tersedu-sedu dan berkata, “Mereka semakin
banyak… mereka semakin banyak tuanku… saya risau tuanku….”
Sang Guru tersenyum, terdiam, lalu berbisik lembut, “Apa yang
kau risaukan?”
Aku berkata, “Musuh semakin banyak... Saya risau mereka akan
merusak perjuangan kita… Saya tidak mau memerangi mereka… saya
selalu memaafkan mereka sebelum mereka meminta maaf… namun
saya risau pula karena mereka terus ada….”
Sang Guru berkata lirih, “Kita kelompok damai yang tidak
memusuhi, semoga Allah menenangkan kita dari gangguan musuh.”
Aku menunduk, “Amiiin” bisikku.
Air mata berjatuhan semakin deras.
Wajah indah dan damai itu kembali melantunkan wejanganwejangan
lembut dengan suara lirih dan terkadang berbisik lembut.
hingga akhirnya Guru berkata lembut dan pelahan, “Adakah yg masih
mengganjal dihatimu?”
Aku menunduk... air mata telah berjatuhan membasahi
permadani… aku diam dan tak berani berucap… dan beliau menatapku
dengan cermat dan risau…. Dahi Guru berkerenyit tanda beliau benarbenar
menanti jawabanku. Maka aku berkata lirih, “Mereka dengki
pada saya. Saya sedih mengapa mereka dengki pada saya dan
kemajuan yang semakin pesat justru semakin memicu hal ini. Maka
saya tidak tahu harus bagaimana.”
www.majelisrasulullah.org | 127
Beliau tersandar dan tersenyum. Beberapa detik tanpa suara,
lalu beliau melantunkan ayat-ayat kejadian Nabi Yusuf as yang didengki
oleh saudara-saudara kandungnya. Lalu beliau berkata lirih, “Bahkan
anak-anak para nabi pun ada yg tidak selamat dari sifat dengki pada
saudaranya.”
Lalu beliau tersenyum… senyum yang menghibur jiwa yang
risau dan resah…. Aku tercenung…. Lalu beliau menyadarkanku dari
lamunanku dengan menghentakkan sebuah siwak ke pangkuanku.
Siwak dipukulkan ke pangkuanku, tanda kedamaian dan keakraban
yang sangat menyejukkan.
Aku berkata lirih, “Apa yg harus saya lakukan?”
Maka guru berbisik lembut, “Kita adalah kelompok damai. Kita
adalah kelompok yang selalu berdoa. Kita berusaha dengan naungan
doa. Kita bekerja dengan naungan doa. Kita beraktifitas dengan
naungan doa. Doa kepada Allah, doa kepada Allah, doa kepada Allah.”
Aku menunduk... mulai kurasa bahwa aku telah banyak menyita
waktu guru… aku berbisik di sela sela tangis, “Saya pamit.”
Guru menjawab, ”Kutitipkan engkau pada Allah.”
Aku roboh dalam tangis dan kubenamkan wajahku di pangkuan
guru. Aku akan kembali berjuang dalam dakwah. Aku akan berhadapan
dengan segala apa-apa yang semoga Allah meringankan segala
bebanku.
Beliau menepuk bahuku dengan akrab untuk menyemangatiku.
Aku pun bangkit, berdiri mundur tanpa berani membelakangi. Sambil
www.majelisrasulullah.org | 128
terus menunduk tanpa berani memandang wajah damai itu lagi.
Sampai ke pintu barulah kubalikkan tubuhku.
Disaksikan terik matahari dhuhur kutinggalkan kota Tarim, kota
kerinduan, kota kedamaian, kota tempat kekasihku dan Guru Muliaku
berada, sang pembimbing diriku menju jalan keluhuran, keluhuran
dunia dan keluhuran akhirat.
Pesawatku mendarat di Bandara Soekarno Hatta pada Ahad.
Oh Jakarta… Gemetar dan penuh risau ku langkahkan kaki
turun dari pesawat menginjak Bumi Jakarta… beban... tanggung
jawab… massa… kendala… subhanallah….
Lalu aku membatin, “Wahai nafas-nafasku. Kau adalah ajang
bakti cintaku pada guru. Padanyalah ku baktikan jiwa ragaku, yang
dengan itulah matahari keridhoan Allah dan Rasul Nya terbit sepanjang
waktu bagiku.”
0 comments:
Post a Comment