Dunia televisi tanah air mengalami titik nadir dalam kualitas dan konten dari siarannya. Karena jika kita tela'ah bahwa sebagian besar isi acara televisi hanyalah didominasi oleh 3 hal yakni: Sinetron yang endless story atau FTV dengan tema yang itu-itu melulu (kisah cinta beda kasta atau rumah tangga yg hancur), Acara Musik yang lebih banyak menampilkan hal lain daripada musik itu sendiri, dan Acara Lawak dan Hiburan tanpa batasan norma.
Jujur saja, saya hanya menonton tiga jenis tayangan di televisi, yang pertama adalah pertandingan bulutangkis, program keagamaan yang Islami dan Acara motivasi serta pengetahuan semacam Kick Andy dan Mario Teguh Golden Ways. Selebihnya saya nyaris banyak menghabiskan waktu dengan browsing Internet untuk menambah ilmu dan wawasan.
Jika saya memutar memori ke zaman keemasan tayangan televisi di awal tahun 90an, maka tayangan pada masa itu jauh amat sangat lebih berkualitas dibandingkan tayangan saat ini, dengan tayangan-tayangan yang mampu membuat kita betah berjam-jam di depan televisi, bahkan rangkaian film kartun di hari Minggu sampai membuat saya lupa untuk mandi.
Karena di era itu saya masih anak-anak, maka begitu segar dalam ingatan saya sejumlah acara anak-anak yang benar-benar menghibur, setidaknya itu yang kini sudah punah di dunia pertelevisian kita. Zaman itu, anak-anak di era 90an pastinya akrab dengan tayangan kartun macam Popeye, Casper, Looney dan Tiny Toon, Sailor Moon, Darkwing Duck, X-Men, BT-X dll. Atau tayangan favorit lainnya seperti Power Rangers dan Kamen Rider Black (Ksatria Baja Hitam) yang membuat kita rindu kembali kepada era dimana anak-anak sangat dimanjakan dengan tayangan-tayangan bermutu.
Selain acara anak-anak tadi, rasanya kita juga ingat banyak sekali tayangan yg menambah wawasan berupa kuis-kuis macam Tak-Tik Boom, Piramida, Kata Berkait, Indosat Galileo, Famili 100, bahkan yg terakhir saya ingat adalah Kuis Siapa Berani dan Who Wants To Be A Millionaire. Namun kini nampaknya mengasah otak bukan lagi menjadi favorit masyarakat Indonesia sehingga acara-acara kuis atau tayangan yang menambah wawasan mempunyai rating sangat rendah di saat ini.
Memang tayangan berkualitas yg menambah pengetahuan dan wawasan tidak benar-benar lenyap dari dunia pertelevisian kita. Setidaknya masih ada acara-acara macam On The Spot, Spotlite, Laptop Si Unyil, Jelajah Nusantara, dan semacamnya yg mampu menjadi Oase di tengah gempuran tayangan tak bermutu yang menguasai hampir 80% jam tayang di televisi kita.
Jika membahas mengenai tayangan sinetron atau FTV, di era 90an memang sudah beredar banyak sekali sinetron, namun sinetron yg ada di zaman tsb adalah sinetron yang bermutu, mendidik, dan penuh dengan pesan moral. Mari bandingkan sinetron zaman dulu macam Si Doel Anak Sekolahan atau Keluarga Cemara dengan era “alay” masa kini seperti ABG Jadi Manten atau Ganteng-Ganteng Serigala? Tentunya bagi yg mempunyai akal sehat dan pernah menonton sinetron di era 90an setuju bahwa sinetron di zaman itu jauh lebih bermutu. Lagipula pernahkah kalian sadar bahwa sinetron zaman sekarang isinya cuma “kepala” pemainnya doank? Nggak percaya? Perhatikan saja!
Selain itu, Sinetron saat ini tergantung dari rate share sehingga tayangannya bisa terus diperpanjang hingga beberapa season sampai kadang-kadang si penonton ngedumel sendirian karena konfliknya nggak pernah selesai tapi tetap saja ditonton karena penasaran.
Jika dulu kita masih mempunyai stasiun televisi yg bekerjasama dengan MTV (ANTV dan Global TV), kita selalu menunggu album/video terbaru dari band/penyanyi favorit kita. Saat itu juga acara musik dipandu oleh VJ ternama yg mempunyai wawasan luas tentang musik dan pastinya sudah melalui audisi ketat. Dulu tidak sembarangan orang dinobatkan sebagai “VJ”, gelar itu akan disematkan hanya kepada para pembawa acara musik yang benar-benar mempunyai skill, sebut saja Sarah Sechan dan Daniel Mananta yang hingga saat ini masih dianggap sebagai “The Best VJ” oleh penggila musik mancanegara maupun domestik. Bandingkan dengan pembawa acara musik saat ini yang lebih banyak cuap-cuap tak bermakna ketimbang menggali lebih dalam info terbaru dari perjalanan musik itu sendiri.
Dan terakhir tentunya yang membuat saya semakin miris dan heran. Mengapa acara lawak hiburan yang mengedepankan kelakuan tanpa norma dengan mencela, mengejek, dan menyakiti lawan bicara menjadi tayangan paling laris manis di jagad hiburan Indonesia? Apakah bangsa yang sempat dikenal sebagai bangsa yg berbudi luhur, ramah tamah, serta sopan santun ini berevolusi menjadi masyarakat dengan degradasi moral dan akhlak sudah sedemikian akut?
Tentunya kita semua mengenal ada sekelompok mahasiswa yg dengan cerdas memodifikasi kritik sosial terhadap pemerintah menjadi sebuah humor bermutu. Mereka benar-benar mampu mengubah pakem lawakan saat itu yg identik dengan tampang culun, bergaya kemayu, atau komedi sarkas lainnya menjadi sebuah smart jokes yg lugas namun mampu mencair di lapisan masyarakat bawah. Siapa mereka? Tidak lain dan tidak bukan adalah legenda komedi Indonesia yg dinamakan “Warkop DKI”.
Lawakan berbau kritik sosial dan sedikit vulgar yg dikemas secara apik oleh trio Warkop membuat mereka jadi trendsetter dunia hiburan saat itu. Bahkan genre lawakan mereka diteruskan oleh “junior”-nya yang digawangi oleh Dedi Gumelar, Didin Pinasti, dan Hadi Prabowo bernama Bagito. Namun saat ini rasanya sulit menemukan pelawak yg mampu membuat orang tertawa tanpa harus mengejek, mengumpat, dan menyakiti lawan bicaranya.
Entah apa yang akan kita jelaskan kepada anak-anak kita nantinya jika kita melarang mereka untuk menonton televisi karena tidak adanya tayangan bermutu untuk mereka. Jika dulu kita sangat terhibur dengan kehadiran Susan-nya Kak Ria Enes atau Si Komo-nya Kak Seto Mulyadi, maka kita berharap akan lahir generasi emas yg menghadirkan kembali “Susan-Susan” dan “Komo-Komo” baru menjadi tayangan bermutu bagi barisan generasi selanjutnya membangun bangsa ini menjadi bangsa yang dikenal dengan budi pekerti luhur, menjunjung tinggi etika dan moral, serta berakhlak mulia